HUKUM KHITAN
Oleh
Ustadz Armen Halim Naro
1.
DEFINISI KHITAN
Al khitan diambil dari bahasa Arab kha-ta-na, yaitu memotong. Sebagian ahli
bahasa mengkhususkan
lafadz khitan untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan disebut dengan
khifadh. Adapun dalam istilah syariat,
dimaksudkan dengan memotong kulit yang menutupi kepala zakar bagi laki-laki,
atau memotong daging yang menonjol di atas vagina, disebut juga dengan klitoris
bagi wanita.
2. KHITAN, SYARIAT NABI
IBRAHIM ALAIHISSALLAM
Khitan merupakan salah satu ajaran yang diturunkan Allah Subhanahu wa
Ta’ala kepada Nabi Ibrahim Alaihissallam untuk dilaksanakan, disebut sebagai
“kalimat” (perintah dan larangan). Beliau Alaihissallam telah menjalankan
perintah tersebut secara sempurna, sehingga beliau dijadikan Allah Subhanahu wa
Ta’ala sebagai panutan dan imam seluruh alam. Dalam surat al Baqarah Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ
“Dan (ingatlah),
ketika Ibrahim diuji Rabb-nya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan),
lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan
menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon
juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: “JanjiKu (ini) tidak mengenai
orang-orang yang lalim”. [al Baqarah :
124].
Khitan termasuk fitrah yang disebutkan dalam
hadits shahih. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :
الفِطْرَةُ خَمْسُ : الخِتَانُ وَالاسْتِحْدَادُ وَنَتْفُ الإِبْطِ وَتَقْلِيْمُ الأَظْفَارِ وَقَصُّ الشَّارِبِ
“Lima dari fitrah
yaitu khitan, istihdad (mencukur bulu kemaluan), mencabut bulu ketiak, memotong
kuku dan mencukur kumis”.
Di dalam Musnad Ahmad
dari Ammar bin Yasir Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : ”Telah bersabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sebagian dari fitrah adalah:
berkumur-kumur, istinsyaq (menghirup air dari hidung), mencukur kumis, siwak,
memotong kuku, membersihkan lipatan pada badan, mencabut bulu ketiak, istihdad,
khitan dan bersuci”.
Maksud dari fitrah
adalah, pelakunya disifati dengan fitrah yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala
fitrahkan hambaNya atas hal tersebut, dan Dia telah menganjurkannya demi
kesempurnaan sifat mereka. Pada dasarnya sifat-sifat tersebut tidak memerlukan
perintah syariat dalam pelaksanaannya, karena hal-hal tersebut disukai dan
sesuai oleh fitrah.
Menurut Ibnul Qayyim
rahimahullah, fitrah itu terbagi dua. Fitrah yang berhubungan dengan hati dan
dia adalah makrifat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mencintai serta
mendahulukanNya dari yang lain. Dan yang kedua, fitrah amaliah dan dia hal-hal
yang disebut di atas. Yang pertama mensucikan ruh dan membersihkan kalbu,
sedangkan yang kedua mensucikan badan, dan keduanya saling membantu serta
saling menguatkan. Dan pokok fitrah badan adalah khitan.
Khitan bermula dari
ajaran Nabi Ibrahim, sedangkan sebelumnya tidak ada seorangpun yang berkhitan.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ibrahim berkhitan setelah berumur
delapan puluh tahun”.
Setelah Nabi Ibrahim
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tradisi dan sunnah khitan berlanjut bagi semua
rasul dan para pengikut mereka, sampai kepada al Masih, bahwa dia juga
berkhitan. Orang Nashrani mengakui dan tidak mengingkari khitan tersebut,
sebagaimana mereka mengakui haramnya daging babi, haramnya uang penghasilan
hari Sabat, mereka mengakui shalat menghadap Shakhrah (sebuah batu sebagai
kiblat Yahudi di Masdjid al Aqsha, Pen), dan mereka mengakui untuk tidak
berpuasa lima puluh hari, yang puasa tersebut mereka namakan dengan “puasa
besar”.
3.
HIKMAH DAN FAIDAH KHITAN
Khitan merupakan kemulian syariat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala
peruntukkan untuk hambaNya, memperbagus keindahan zhahir dan bathin,
menyempurnakan agama Hanif bapak para nabi dan rasul, sebagai nenek moyang bagi
keturunan Ismail dan Ishaq; dialah Nabi Ibrahim. Khitan merupakan celupan dan
tanda Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap hambaNya. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman :
صِبْغَةَ اللَّهِ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ صِبْغَةًَ
“Shibghah Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya daripada Allah?”
[al Baqarah : 138].
a.
Sebagai tanda ‘ubudiah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana
dahulu, bahwa memberi tanda pada telinga atau badan pada budak sahaya sebagai
pertanda penghambaan diri mereka kepada majikannya. Jika budak tersebut lari
dari majikannya, ia dikembalikan kepadanya melalui perantara tanda tersebut.
Maka tidak ada yang mengingkari, barangsiapa yang telah berkhitan dengan
memotong kulit tersebut, berarti dia telah menghambakan dirinya kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala, sehingga semua orang mengetahui, barangsiapa yang
melakukan khitan, berarti dia adalah hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala.
b.
Khitan merupakan kesucian, kebersihan dan hiasan bagi hambaNya yang hanif.
c.
Dengan berkhitan -terutama seorang wanita- dapat menetralkan nafsu syahwat.
Jika dibiarkan tidak berkhitan, maka akan sejajar dengan perilaku hewan. Dan
jika dipotong habis, maka membuat dia akan sama dengan benda mati, tidak
mempunyai rasa. Oleh karenanya, kita mendapatkan, orang yang tidak berkhitan,
baik dia laki-laki maupun perempuan, tidak puas dengan jima` (hiperseks). Dan
sebaliknya, kesalahan ketika mengkhitan bagi wanita, dapat membuatnya menjadi
dingin terhadap laki-laki.
d.
Bagi wanita yang berkhitan dapat mencerahkan wajah dan memuaskan pasangan.
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ اْلَأنْصَارِيَة أَنَّ امْرَأَةً كَانَتْ تًخْتِنُ بِالْمَدِيْنَةَ فَقَالَ لَهَا النَّبِي صلى الله عليه وسلم : لَا تُنْهِكِي فَإِنَّ ذلِكَ أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ وَأَحَبُّ إِلَى اْلبَعْلِ
“Dalam hadits Ummu `Athiah, bahwa seorang wanita di Madinah berprofesi
sebagai pengkhitan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya:
“Janganlah dihabiskan. Sesungguhnya, itu akan menguntungkan wanita dan lebih
dicintai suami”
Sesungguhnya Setan
itu berdiam pada tempat-tempat yang kotor, termasuk pada kulit yang tidak
berkhitan. Setan meniupkan pada kemaluannya, yang tidak dia tiup pada orang
yang berkhitan.
4.
HUKUM KHITAN
Para ulama berselisih
dalam permasalahan ini, terbagi kepada tiga pendapat.
a. Pendapat Pertama :
Khitan itu wajib bagi laki-laki dan perempuan. Pendapat ini merupakan mazhab Syafi`iyah,
Hanabilah dan sebagian Malikiyah rahimahullah, dan dari ulama terkemuka dewasa
ini, seperti pendapat Syaikh al Albani.
b. Pendapat Kedua :
Khitan itu sunnah (mustahab). Pendapat ini merupakan mazhab Hanafiyah, pendapat
Imam Malik dan Ahmad, dalam satu riwayat rahimahullah.
c. Pendapat Ketiga :
Khitan wajib bagi laki-laki dan keutamaan bagi wanita. Pendapat ini merupakan satu
riwayat dari Imam Ahmad, sebagian Malikiyah dan Zhahiriyah rahimahullah.
5.
DALIL-DALIL
Dalil pendapat
Pertama, yang mengatakan khitan wajib. Mereka berdalil dengan Kitab, Sunnah,
atsar dan akal.
a. Dalil dari Kitab.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ … الأية
“Dan (ingatlah),
ketika Ibrahim diuji Rabb-nya dengan beberapa kalimat (perintah dan
larangan)”.[al Baqarah : 124].
Catatan: Sesungguhnya, khitan
termasuk kalimat yang dijadikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai bentuk
ujian kepada Ibrahim Alaihissallam, sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu
Abbas; dan ujian, secara umum berlaku dalam hal yang wajib.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Kemudian Kami
wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif”. Dan
bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan”.
Catatan: Khitan
termasuk ajaran Ibrahim Alaihissallam, sehingga hal itu termasuk dalam keumuman
perintah untuk diikuti. Dan asal dari perintah adalah wajib, sampai ada dalil
lain yang memalingkannya.
b. Dalil dari Sunnah.
Hadits `Utsaim bin
Kulaib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa dia datang menemui Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Aku telah masuk Islam,” Nabi
bersabda,”Buanglah darimu rambut kekufuran dan berkhitanlah”.
Sabda beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam “berkhitanlah”, adalah ‘amr (perintah); dan ‘amr,
hukum asalnya wajib, ia menunjukkan wajibnya berkhitan. Perkataan beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada satu orang, juga mencakup yang lainnya, hingga
ada dalil pengkhususan.
Dan juga mereka
berdalil sebagaimana yang diriwayatkan dari Zuhri, bahwa ia berkata: “Telah
bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : ‘Barangsiapa masuk Islam,
maka berkhitanlah, sekalipun sudah dewasa'.”
Sabda beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam “maka hendaklah berkhitan”, adalah ‘amr; dan asal
hukum ‘amr, wajib dengan sighat (bentuk syarat) pada sabda beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam “Barangsiapa yang masuk Islam”, lafadznya umum, mencakup
laki-laki dan perempuan.
c. Atsar Salaf.
Dari Ibnu Abbas
Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : “Al aqlaf (yaitu orang yang belum berkhitan),
tidak diterima shalatnya dan tidak dimakan sembelihannya”[27].
d. Dalil Aqli.
1) Mereka berdalil
dengan teori dan qiyas. Secara teori, dapat dilihat dari beberapa aspek.
a) Pertama :
Diperbolehkan membuka aurat saat dikhitan. Jika khitan bukan merupakan hal yang
wajib, niscaya tidak diperbolehkan; karena hal itu bukan hal yang bersifat
darurat dan bukan pula untuk berobat.
b) Kedua : Kulit zakar
dapat menahan najis, padahal membuang najis merupakan kewajiban ketika beribadah.
Dan tidak ada cara menghilangkan kulit itu, kecuali dengan khitan. sehingga
jadilah hukum hokum itu wajib, karena apa yang tidak bisa sempurna sebuah
kewajiban kecuali dengannya, maka jatuh hukumnya wajib.
c) Ketiga : Orang tua
sebagai penyebab si anak merasakan sakit ketika dikhitan, dapat menyebabkan
kematian jika sampai tetanus, serta sang ayah mengeluarkan hartanya untuk biaya
tabib dan pengobatan. Jika hal itu tidak wajib, maka hal-hal tersebut tidak
diperbolehkan.
d) Keempat :
Sesungguhnya dengan berkhitan mendatangkan sakit yang luar biasa, tidak
disyariatkan kecuali tiga keadaan: untuk mashlahat, atau hukuman, atau untuk
melaksanakan sebuah kewajiban. Dalam khitan tidak mungkin karena dua yang
pertama, sehingga jadi tersisa yang ketiga, yaitu untuk sebuah kewajiban.
2) Sedangkan istidlal
(dalil) dengan qiyas.
1) Pertama. Khitan
adalah pemotongan yang disyariatkan rawan tetanus, jadilah wajib seperti
memotong tangan pencuri.
2) Kedua. Sesungguhnya
khitan merupakan syiar kaum Muslimin, maka hukumnya wajib sebagaimana hukum
syiar Islam yang lain.
Dalil pendapat kedua,
yang menyatakan khitan sebagai sunnah dan bukan hal yang wajib. Mereka berdalil
dengan Sunnah.
Hadits Abu Hurairah
Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi bersabda: “Fitrah ada lima, di antaranya berkhitan
…”.
Catatan : Maksud dari fitrah
adalah sunnah. Oleh karenanya, hukum khitan sunnah dan tidak wajib. Oleh karena
khitan disejajarkan dengan yang bukan wajib seperti istihdad (mencukur bulu
kemaluan).
Sebagaimana yang datang dari Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Khitan sunnah bagi laki-laki dan keutamaan bagi wanita” [36].
Catatan : Hadits ini menjadi
nash dalam permasalahan bahwa khitan sunnah bagi laki-laki dan keutamaan bagi wanita.
Dalil pendapat ketiga, mereka lebih memerinci
sebagian dalil yang dikatakan oleh pendapat pertama, yaitu yang mengatakan
wajib berkhitan bagi laki-laki dan wanita.
Mereka berkata,”Khitan bagi laki-laki lebih
tegas, karena kalau dia tidak berkhitan, maka kulit yang menjulur pada ujung
zakar dapat menghalanginya dari bersuci, sedangkan wanita lebih ringan. Maka
jatuhnya wajib bagi laki-laki, dan tidak wajib bagi wanita.”[37]
6.
KESIMPULANNYA.
a. Pertama. Secara umum,
setiap dalil tidak lepas dari kritikan, sebagaimana yang telah disebutkan
bantahan, setiap pendapat terhadap pendapat lainnya oleh Imam Ibnul Qayyim
rahimahullahn.
b. Kedua. Pendapat
pertama dan ketiga mempunyai persamaan dalam hukum khitan laki-laki, sedangkan
hukum khitan perempuan sama-sama memiliki dalil yang sama-sama kuat.
c. Ketiga. Laki-laki
diwajibkan berkhitan. Yang demikian ini merupakan pendapat jumhur, sebagaimana
terdapat pada pendapat pertama dan ketiga. Dan pendapat ini yang lebih
menenangkan hati, dari pendapat yang mengatakan khitan wanita itu sunnah,
wallahu a`lam.
Sedangkan apa yang disebutkan oleh pendapat
kedua pada hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, maka dapat kita jawab, jika
kita menerima alasan mereka bahwa makna fitrah adalah sunnah, bukan berarti
khitan tidak diwajibkan. Karena lafadz sunnah ada yang hukumnya wajib dan ada
yang bukan wajib. Ia mencakup semua maknanya yang terkandung dalam syariat.
Sedangkan membedakan antara sunnah dengan wajib, ini merupakan istilah baru.
d. Keempat. Sedangkan
khitan perempuan -yang menenangkan hati saya- hukumnya wajib, karena wanita
adalah syaqa-iq (saudara sederajat) dengan laki-laki dalam hukum.
Alasan yang membuat penulis menyatakan hukum
tersebut wajib, karena dengan berkhitan, seorang wanita dapat menetralkan
syahwat. Hal itu dapat membantu untuk iffah (menjaga kehormatan). Dan menjaga
kehormatan sangat dituntut secara syariat. Sebagaimana kesucian zhahir
menjadikan khitan itu wajib atas laki-laki, begitu juga kesucian jiwa,
menjadikan khitan itu wajib atas wanita.
7.
WAKTU KHITAN
Pelaksanaan khitan
terbagi dalam tiga waktu.
a. Pertama : Waktu yang
diwajibkan. Yaitu ketika seseorang sudah masuk usia baligh, tatkala dia telah
diwajibkan melaksanakan ibadah, dan tidak diwajibkan sebelum itu.
Di dalam hadits, Said bin Jubair berkata:
“Abdullah bin Abbas ditanya ‘Berapa usia engkau ketika Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam meninggal?’, ia menjawab,’Aku waktu itu baru berkhitan, dan
mereka tidaklah berkhitan kecuali sudah dekat baligh’.
b. Kedua : Waktu yang
dianjurkan untuk berkhitan. Yaitu waktu itsghar [44], yakni masa ketika seorang
anak sudah dianjurkan untuk shalat.
c. Ketiga : Waktu yang
diperbolehkan. Yaitu semua waktu selain yang diterangkan di atas.
Para ulama berselisih berkhitan pada hari
ketujuh dari kelahiran, apakah dianjurkan atau dimakruhkan? Sebagian
memakruhkan khitan pada hari ketujuh. Demikian pendapat Hasan Basri, Ahmad dan
Malik rahimahullah. Dalil mereka sebagai berikut.
a. Pertama : Tidak
adanya nash. Khallal meriwayatkan dari Ahmad. Beliau ditanya tentang khitan
bayi? Beliau menjawab,”Tidak tahu. Aku tidak mendapatkan satupun khabar
(dalil)”.
b. Kedua : Tasyabbuh
(meniru) dengan Yahudi. Aku bertanya kepada Abu Abdillah (yaitu Imam Ahmad):
“Seseorang dikhitan pada hari ketujuh?” Beliau memakruhkannya sambil berkata:
“Itu adalah perbuatan Yahudi. Dan ini juga alasan Hasan dan Malik rahimahullah”.
Sebagian membawanya kepada istihbab (dianjurkan),
dan ini pendapat Wahab bin Munabbih, dengan alasan lebih mudah dan tidak
menyakitkan bagi bayi. Sedangkan sebagian lagi membawanya kepada hukum asal,
yaitu boleh. Di antaranya pendapat Ibnul Munzir.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,”Syaikh kami
(Ibnu Taymiah) berkata,’Ibrahim mengkhitan Ishaq pada hari ketujuh dan
mengkhitan Isma’il ketika hendak baligh. Jadilah khitan Ishaq menjadi sunnah
(tradisi) bagi anak cucunya, dan juga khitan Ismail menjadi sunnah bagi anak
cucunya.Wallahu a’lam’.”
8.
ORANG YANG TIDAK PERLU DIKHITAN
Ada empat keadaan
seseorang tidak perlu dikhitan dan telah jatuh kewajiban terhadap dirinya.
a. Pertama : Seseorang
yang dilahirkan dalam keadaan sudah berkhitan. Orang seperti ini tidak perlu
dikhitan kembali. Demikian kesepakatan ulama. Hanya sebagian ulama mutaakhirin
(belakangan) berkata: “Dianjurkan pisau melewati tempat khitan, karena itu yang
dapat dia lakukan, dan Nabi telah bersabda,’Jika aku perintahkan, maka lakukan
semampu kalian”.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,”Yang benar,
perbuatan ini makruh. Tidak perlu mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala dengannya. Dan tidak perlu beribadah dengan semisalnya. Dan syariah
berlindung dari hal itu, karena merupakan perbuatan sia-sia yang tidak ada
faidahnya. Melewati pisau bukanlah tujuan. Akan tetapi sebagai sarana untuk
sebuah tujuan. Jika tujuan telah tercapai, maka tidak ada artinya bagi sarana.”
b. Kedua : Jika
seseorang tidak tahan menahan rasa sakit ketika berkhitan, sebab sakit atau
sudah tua, dan lain sebagainya. Ditakutkan terhadap dirinya kebinasaan dan
kelemahan tersebut berlanjut, maka dalam keadaan seperti ini, ia diperkenankan
untuk tidak berkhitan.
c. Ketiga : Seseorang
masuk Islam ketika sudah dewasa, dan dia takut binasa karenanya; maka hukum
khitan jatuh darinya menurut jumhur.
d. Keempat : Seseorang
yang meninggal, sedangkan ia belum berkhitan, maka tidak perlu dikhitankan,
karena khitan disyariatkan ketika seseorang masih hidup, dan itu telah hilang
dengan kematian, maka tidak ada mashlahat untuk mengkhitannya.
9.
BEBERAPA KESALAHAN DAN KEMUNKARAN SEPUTAR PERMASALAHAN KHITAN
a. Mengadakan acara
kenduri khitan. Amaliah ini tidak ada asalnya dari syariat, sebuah perbuatan
mubadzir, bahkan bid’ah.
b. Menguliti sebagian
seluruh kulit zakar ketika berkhitan, sebagaimana terjadi di sebagian negara
atau wilayah.
c. Kurang teliti memilih
tabib atau dokter, terutama bagi anak wanita yang dapat berakibat fatal bagi
masa depannya.
d. Menakut-nakuti anak
yang akan berkhitan dengan cerita-cerita yang tidak benar dan dapat merusak
aqidah sang anak.
e. Lalainya sebagian
orang dalam permasalahan aurat ketika berkhitan. Kadang-kadang, orang-orang sesukanya
melihat aurat besar yang dikhitan, terutama terhadap yang berlawanan jenis.
Wa shalallahu wa sallam ‘ala Muhammadin tasliman
katsira, wa akhiru da’wana, al hamdulillahi Rabbil ‘alamin
[Disalin dari Majalah
As-Sunnah Edisi 11/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183,
Telp. 0271-761016]